kode iklan

Kamis, 14 November 2019

Syurahbil bin As-simthi



Basren Blog. Kebahagiaan hidup di dunia merupakan dambaan setiap manusia dan untuk mendapatkannya perlu adanya upaya keras dan perjuangan. Upaya dan perjuangan tanpa adanya keberanian tidak akan berjalan. Demikian pula hidup di akhirat memerlukan usaha dan perjuangan pula. Oleh karena itu, untuk mendapatkan akhirat yang kekal, meraka harus mempunyai sikap pemberani, di takuti dan disegani, sehingga mereka benar-benar menjadi generasi terbaik umat ini. Nah sekarang kita simak kisah sahabat Nabi SAW yang bernama Syuhrahbil dibawah ini.

Jihad Syuhrahbil pada Perang Qadisiyah

Peperangan ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Kahttab, pada waktu itu pasukan ini dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash.dengan keberianian tinggi mereka berjihad melawan penyembah api di Persia (Iran).

Pertempuran ini amat dahsyat, dimana pasukan  kaum Muslimin berjumlah 300 orang terdiri dari veteran perang Badar berjumlah 70 orang. Pertempuran ini selama 4 hari. Hari keempat, dengan pertolongan Allah SWT, pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustam dihantam oleh angin kencang , sehingga mereka kocar kacir, dan panglimanya yang bernama Rustam pun menemui ajalnya pada saat iitu, sehingga kemenangan ada pada kaum Muslimin, sehingga Persia dapat ditaklukkan.

Dipilih Sebagai Pegawai Pemerintah di Kota Madain

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Syurahbil dipilih oleh Khalifah untuk menjadi pagawai pemerintah di kota Madain yang berada di negeri Irak.
Namun Syurahbil menolak dengan halus, maka ditulislah surat kepada Khalifah oleh Syuhrabil yang isinya, “ Wahai Amirulmukminin, sesungguhnya engkau memerintahkan untuk tidak memisahkan antara para budak dengan anak-anaknya, sedangkan engkau telah memisahkan aku dengan ayahku. “ maka spontan surat tersebut dibalas oleh Khalifah yang berisi bahwa beliau dipindah ke kota Homs tempat ayahnya tinggal.

Penakluk Kota Qinnasrin

Kota Qinnasrin adalah merupakan kota peribadatan dan pendidikan kaum Nasrani. Sehingga disitu banyak sekali berdiri gereja-gereja Suryaniyyah dan beberapa tempat pendidikan. Kota ini berada di Negara Suriah, dekat dengan kota Halab (Aleppo).
Perjanjian damai telah disepakati oleh Pimpinan penduduk Qinnasrin dengan pasukan Muslim ketika pasukan ini tiba di Qinnasrin, yang intinya Pasukan Muslim tidak Qinnasirin tetapi penduduknya membayar jizyah. Namun kemudian perjanjian ini dikhianati oleh penduduk Qinnasirin pada saat Abu Ubadah beserta pasukannya melanjutkan perjalanannya k eke kota Halab.
Melihat situasi seperti itu, maka Abu Ubadah mengutus Syurahbil menjadi pimpinan untuk mengepung kota itu dan akhirnya dapat ditaklukkan. Banyak rampasan perang yang di dapat, sebagiannya diserahkan ke Baitulmaal

Gubernur Kota Himsa/Homs

Di era pemerintahan Muawiyah, Syuhrabil dipercanya untuk memegang tapuk pimpinan di Homs sebagai Gubernur, sebuah kota di negeri Syam, sekarang kota ini terletak di Suriah. Syurahbil memimpin kota ini lebih kurang 20 puluh tahun dan meninggal dikota ini pada tahun 40 H.

Keteguhannya di atas Dunul Islam.

Setelah meninggalnya Rasulullah SAW, banyak diantara yang telah memeluk  Islam murtad dengan enggan mengeluarkan zakat. Pada saat itu kepemimpinan umat Islam di bawah Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

Diantara mereka ada yang berasal dari Bani Kindah, Bani Amr bin Muawiyah di Hadramaut.
Syuhrabil dan ayahnya adalah berasal dari Bani Kindah, tetapi sikap mereka tidak ikut-ikut murtad, mereka mempertahankah aqidah yang telah menyelamatkan mereka dari kesesatan aqidah. Bahkan mereka mengatakan kepada Bani Amr.          “ Demi Allah ini adalah perbuatan yang buruk bagi kaum yang merdeka, berpindah dari hal yang baikkeadaan menuju keadaan buruk. Sesungguhnya, orang yang mulia dan terpuji ketika dia berada dalam situasi yang syubhat, mereka merasa mulia dengan meninggalkan perbuatan tersebut untuk melakukan perbuatan yang jelas kehalalannya karena takut hina. Dan bagaimana dengan kalian, mengapa berpaling dari perbuatan baik dan benar untuk melakukan perbuatan batil dan buruk ? Ya Allah, sesungguhnya kami tidak membantu kaumku untuk melakukan perbuatan ini, dan kami menyesal atas pergaulan kami dengan mereka selama ini. “ Kemudian mereka keluar dan bergabung dengan Ziyad bin Labid r.a yang diutus Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memungut zakat.

Keteguahan imannya diuji ketika kaumnya melakukan perbuatan yang keji, berani dalam mengambil keputusan dan memegang Islam dengan eratnya walaupun kaumnya meninggalkannya.



Rabu, 30 Oktober 2019

Sumpah Dalam Pandangan Islam



Basren Blog. Sumpah adalah  ucapan untuk memastikan kebenaran suatu perkara yang masih diragukan kebenarannya dengan menyebut salah satu nama Allah atau salah satu sifat-Nya, baik dalam perkara yang sedang diperiksa maupun perkara yang akan datang dengan tujuan menolak atau untuk menguatkan tuduhan atau gugatan.

Manfaat sumpah itu dilakukan yaitu :
1.    Untuk menagkis tuduhan yang dilancarkan oleh orang lain terhadap penggugat.
2.    Untuk menyatakan kebenaran diri.

Ucapan sumpah itu sendiri kalau kita lihat dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW adalah :

Pertama : La wa muqallibal qulub (Tidak. Demi Yang membolak balikan hati).

Kedua : Walladzi nafsu muhammadin bi yadihi ( Demi zat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman tangan-Nya)

Ketiga : Wa aimulladzi nafsi bi yadihi ( Demi Allah,  yang jiwaku dalam genggaman-Nya)

Keempat : Walladzi nafsi bi yadihi ( Demi zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya)

Kelima : Wa rabbi (Demi Rabbku)

Keenam : Wallahi (Demi Allah)

Ketujuh : Wa aimullah (Demi Allah
)
Kedelapan : Wa rabbul ka’bah ( Demi pemilik Ka’bah)


Kesembilan : Walladzi  la ilaha ghairuhu ( Demi zat yang tiada ilah yang berhak disembah selain Dia).

Minggu, 27 Oktober 2019

Miqdad bin Aswad





Basren Blog. Ketika kita membicarakn Miqdad bin Amr, pembicaraan kita terpokus kepada sosok sahabat mulia, yang termasuk assabiqunal awwalun yaitu orang yang menyatakan Islam secara terang-terangan yang ketujuh, sehingga harus menanggung penderitaan oleh kemurkaan dan kekejaman orang-orang Quraisy. Ibnu Mas’ud ra mengatakan, “ Orang yang pertama kali memperlihatkan keislamannya ada tujuh orang, “ seraya menyebut Miqdad bin Aswad sebagai salah seorang dari mereka.

Miqdad adalah anak angkat dari al-Aswad Abdi Yaghuts, tetapi dengan adanya larangan dalam ayat yang turun pada waktu itu untuk penisbatan anak angkat kepada ayah angkat maka dikembalikanlah nisbat itu kepada orang tua kandungnya yaitu Amr bin Tsalabah bin Malik al-Kindi yang lebih dikenal dengan Miqdad bin Aswad.

Dalam sejarah Islam, Miqdad bin Aswad dikenal sebagai pejuang Islam yang pemberani. Abdullah bin Mas’ud ra mengatakan, “ Aku telah menyaksikan perjuangan           miqdad, sehingga aku lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini. ‘
Pada suatu saat Rasulullah m mengajak musyawarah semua kaum Muslimin, mereka akan menghadapi peperangan yang pertama dengan kaum Musyrikin, Rasulullah SAW menguji keimanan mereka. Pendapat diperlukan agar perjuangan dapat dimenangkan, kemenangan ini bukan juga atas usaha mereka semata tetapi juga atas pertolongan Allah SWT.
Miqdad khawatir kalau diantara para sahabat ada yang berat untuk bertempur. Kali ini pertempuran dalam upaya mempertahankan keimanan mereka, yaitu agama Islam. Sebelum Miqdad berbicara, mka Abu Bakar  Ash Shiddiq telah mendahuluinya, dengan lantunan kalimat yang berkesan, tentramlah hati Miqdad, setelah itu Umar bin Khattab berbicara, sungguh menakjubkan.

Kini giliran Miqdad tampil berbicara, Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang dititahkan Allah, kami akan bersamamu. Demi Allah kami tidak  akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa, ‘ Pergi dan berperanglah kamu bersama Tuhanmu, sedangkan kami akan duduk menunggu di sini. ‘Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, “ Pergi dan berperanglah engkau bersama Tuhanmu, dan kami ikut berjuang bersamamu. “ Demi zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran seandainya engkau membawa kami ke dalam lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, hingga Allah memberikan kemenangan kepadamu. “
Maka hati Rasulullah SAW menjadi tentram, maka persiapan pun dilakukan oleh Rasulullah dalam bersama para sahabat dalam upaya menghadapi perang Tabuk.

Suatu hari,  ia diangkat oleh Rasulullah SAW  psebagai pemegang kendali (Amir) di suatu daerah, tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya , “ Bagimana pendapatmu setelah menjadi amir ? “ Ia pun menjawab dengan jujur, “ Engkau telah menjadikan diriku menganggap diri sendiri diatas semua manusia, sedangkan mereka semua di bawahku. Demi zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran sejak saat ini saya tidak berkeinginan menjadi pemimpin  sekalipun untuk dua orang  untuk selama-lamanya. ‘
Miqdad adalah seorang laki-laki yang tidak ingin tertipu oleh dirinya sendiri dan tidak mau terpedaya oleh kelemahannya.

Miqdad bin Aswad ra pernah melewati sejumlah orang yang berharap mengalami ujian  sebagaimana Allah menguji Rasul-Nya dan para sahabat ra. Maka ia pun berkementar. “ Sesungguhnya aku pernah mendengar  Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya orang yang  berbahagia adalah orang yang benar-benar dijauhi dari fitnah-fitnah. “ Beliau mengucapkan tiga kali.

Beliau Miqdad bin Aswad juga seorang yang dermawan, bahkan dia berwasiat untuk memberikan kekayaannya kepada Hasan dan Husin sebanyak 30 ribu dirham dan kepada Ummahatul Mukminin masing-masing memperoleh 7 ribu dirham.
Setelah perjuangan dan pengorbanan yang besar bagi Islam dan Kaum Muslimin, Miqdad bin Aswad r.a wafat di Madinah pda tahun 33 H dalam usia 70 tahun. Khalifah Utsaman bin Affan sendiri yang memimpin shlat jenazah ini dan di makamkan di Baqi’.





Kamis, 17 Oktober 2019

Apa Pandangan Islam tentang Gadai ?

  


Basren blog. Gadai ( rahn) adalah menjadikan suatu harta, sebagai jaminan atas suatu utang apabila terdapat halangan dalam pelunasan utang tersebut. Maka harta jaminan tersebut , atau hasil penjualannya, baik sebagian atau seluruhnya, dijadikan sebagai pengganti utang tersebut.
Hukum asal disyari’atkannya gadai adalah firman Allah SWT :
۞وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَة
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). “  (QS. Al-Baqarah ayat 283).
Adapun syarat dalam perjalanan sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat diatas adalah keluar dari keumuman yang terjadi, sehingga tidak difahami sebagai keharusan mutlak, (melainkan hanya difahami sebagai salah satu contoh kasus saja). Hal ini karena as-Sunnah menunjukkan di syari’atkannya gadai dalam keadaan hadir (tidak sedang dalam perjalanan), sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.ha, “ Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya. “ (HR. Bukhari (no.2608) Muslim (1603).
HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN GADAI (RAHN)
1.    Tidak sah menggadaikan brang yang tidak boleh dijual seperti waqaf dan anjing, karena barang tersebut tidak bisa dugunakan untuk melunasi utang. Tidak boleh pula menggadaikan bbarang yang bukan miliknya sendiri.
2.    Harus tahu kadar, jenis dan sifat (bentuk) barang yang digadaikan.
3.    Penggadai adalah orang yang diperbolehkan mengelola hartanya atau pemilik dari barang gadaian tersebut.
4.    Penggadai tidak dapat mmengelola harta yang digadaikan tanpa izin dari pemegang gadai (untuk biaya perawata). Dan orang yang memegang gadai pun tidak langsung memiliki barang gadai, kecuali atas izin penggadai.
5.    Pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadaian, kecuali hewan tunggangan dan hewan yang diperah maka boleh menungganginya dan memerahnya asalkan menanggung biayanya  (seperti pakan dan biaya lainnya).
6.    Barang gadaian adalah amanat di tangan pemegang gadai. Apabila terjadi kerusakan maka ia tidak diharuskan menanggungnya kecuali ada unsure kesengajaan dari pemegang gadaiyang menyebabkan kerusakan barang gadai. Apabila utang telah jatuh tempo, maka si pengutang wajib segera melunasinya. Jika ia tidak mau, maka hakim dapat memenjarakannya dan menjatuhi hukuman kepadanya hingga ia mau melunasi utang tersebut atau dengan cara menjual barang gadaian dan hasil penjualannya dipakai untuk melunasi utang tersebut.







Rabu, 09 Oktober 2019

Kenapa Riba Dilarang Dalam Islam







Basren Blog. Riba secara bahasa artinya tambahan. Riba menurut syara’ artinya tambahan pada salah satu dari dua penukaran yang sejenis, tanpa ada penggantian pada tambahan tersebut.

Riba hukumnya haram sesuai dengan firman Allah SWT :
  وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰ
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. “ (QS. Al-Baqarah ayat 275)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ  
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. “ (QS. Al-Baqarah ayat 178).

Allah SWT mengancam orang yang bermu’amalah dengan riba dengan ancaman yang sangat berat,  Allah SWT berfirman :
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ  “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. “ (QS. Al-Baqarah ayat 275).

Maksud dari ayat tersebut adalah mereka tidak dapat bangkit dari kuburnya pada hari kiamat melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan karena (tekanan) penyakit gila. Hal ini disebabkan besarnya perut-perut mereka karena memakan riba ketika di dunia.

Rasulullah SAW menggolongkan riba ke dalam dosa-dosa besar , dan beliau melaknat orang-orang yang melakukan riba dalam keadaan apa pun . “ Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “ Rasulullah SAW melaknat  pemakan riba1) , pemberinya, penulisnya dua saksinya. “
Dalam hadits yang lain disebutkan “ Mereka sama (dosanya) “ (HR. Muslim no. 1598).

HIKMAH DIHARAMKANNYA RIBA

Perbuatan riba dapat menimbulkan cinta kelezatan, ketamakan untuk
mendapatkan sesuatu dengan cara yang salah (tidak disyari’atkan), dan dapat
menghalangi rasa belas kasihan terhadap hamba-hamba Allah, karena riba sama dengan merampas harta orang lain. Pengambil riba telah memakan harta manusia, sedang mereka tidak mendapatkan sesuatu pun sebagai gantinya. Yang memungut riba sama saja dengan memperbanyak harta mereka dengan cara merampok orang-orang fakir. Perbuatan riba cenderung menjadikan pelakunya malas, menarik diri dari pergaulan, dan tidak maumelakukan pekerjaan atau usaha yang dibolehkan serta bermanfaat. Riba menjadi penyebab terputusnya kebaikan di antara manusia (misalnya hilangnya tolong-menolong di antara mereka) dan menutup pintu qardhul hasan (bentuk pinjaman tanpa bunga) di antara mereka. Sistem riba menjadikan segolongan dari pelakunya sewenang-wenang terhadap harta rakyat dan dapat menguasai perekonomiian suatu negara dan itu termasuk perbuatan maksiat yang besar kepada Allah SWT. Apabila harta pemakan riba bertambah, maka Allah akan menghilangkan keberkahannya, seperti dalam firmannya :
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ  
“ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. “ (QS. Al-Baqarah ayat 276).

PEMBAGIAN RIBA
Menurut jumhur ulama fiqh bahwa riba terbagi kepada tiga yaitu :
a.    Riba Fadhl
Riba fadhl artinya terjadinya kelebihan pada salah satu barang riba yang sejenis.
Contohnya : Seseorang membeli 1000 sha’ gandum dari orang lain dengan gandum 1.200 sha’, kedunya saling mmenerima barang tersebut dengan tukar menukar dalam tempat akad. Maka ini termasuk tambahan, yaitu 200 sha’ gandum, tak ada ganti untuknya, itumerupakan kelebihan

Hukum riba fadhl ini adalah haram dalam enam hal, yaitu : emas, perak, gandum,jewawut, kurma dan garam. Apabila ada seseorang menjual salah satu dari enam hal tersebut, maka haram baginya untuk menambah atau melebihi. Sesuai hadits dari Abu Sa’id al-Khudri ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “ Penjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (jewawut) dengan sya’ir (jewawut), kurma dengan kurma, garam dengan garam, haarus dilakukan secara sama (dalam timbangan atau takaran) dan langsung diserah terimakan (kontan). Barang siapa menambah-nambah atau minta ditambah maka ia telah melakukan riba, baik yang mengambil tambahan atau yang memberikan tambahan hukumnya sama. (HR.Riwayat Bukhari (no.2176,2175), Muslim (no.1584) dan lafazh ini milik Muslim).

Diqiaskan dengan enam barang ini adalah barang-barang yang sama illatnya (alasannya) dengan enam barang ini, sehingga barang-barang tersebut haram juga jika ada kelebihan pada salah satunya. Illat diharamkan riba fadhl adalah “ bisa ditakar “ atau “bisa ditimbang”, maka haram untuk member tambahan pada jual beli komoditi yang ditakar dan ditimbang.

b.   Riba an-Nasii-ah
Riba an-Nasii-ah adalah tambahan pada salah satu dari dua jenis barang riba yang dipertukarkan, dan pertukaran tersebut tidak tunai, yaitu penyerahan atau penerimaan barang tersebut diakhirkan, sedangkan kedua jenis barang yang dipertukarkan itu memiliki illat yang sama, yang diterangkan dalam riba al-fadhl. Dan disini ditegaskan bahwa tukar menukar tersebut tidak tunai.
[ Keterangan : Illat yang sama, seperti emas dengan parak, karena sama-sama sebagai alat tukar. Atau kurma, gandum, sya’ir dan garam, illatnya sama, yaitu sama-sama bahan makanan pokok dan tahan lama. Contoh riba an-Nasii-ah : menukar 1 gram emas dengan 15 gram perak secara tidak tunai].

Misalnya : Seseorang menjual 100 sha’ gandum dengan 200 sha’ gandum yang akan dibayar setelah berlalu masa satu tahun. Maka tambahan (sebesar 100 sha’)  dianggap sebagai imbalan dari waktu yang berlalu salama satu tahun. Atau seseorang mmenjual 1 kg gandum kualitas rendah dengan 1 kg gandum kualitas bagus. Namun keduanya tidak melakukan serah terima.

Hukumnya adalah haram, karena sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an dan juga  hadits bahwa riba diharamkan dan mendapat ancaman bagi pelakunya.  Akad semacam ini termasuk riba dan telah diketahui sejak zaman Jahiliyah dahulu, sekarang akad seperti ini biasanya diterapkan di bank-bank.

Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda setelah Beliau SAW menyebutkan emas dan perak, “ Janganlah kalian menjual (emas dan perak) yang tidak ditempat dengan yang ada di tempat. “

Dan dalam lafazh yang lain :
“ Selama dilakukan dengan dengan tunai dan terjadi serah terima pada saat akad, maka hal ini tidak mengapa. Namun ketika terjadi penagguhan waktu serah terima, maka hal ini termasuk riba. “ (HR. Muslim no. 1589).

CONTOH KASUS RIBA
Ada beberapa kaidah yang akan dijelaskan agar kita bisa mengetahui mana saja persoalan yang menyangkut riba dan mana saja perkara yang mubah (boleh). Kkaidah tersebut adalah apabila barang ribawiy itu dijual dengan sejenisnya, maka ada 2 syarat yang harus dipenuhi :
1.    Serah terima di tempat akad sebelum berpisah
2.    Sama jenisnya dengan menggunakan ukuran yang disyari’atkan, tanpa melihat kepada bagus atau jeleknya barang, yang ditakar dengan yang ditakar, yang ditimbang dengan yang ditimbang.
Tapi apabila mmenjual barang ribawiy dengan yang bukan sejenis  maka tidak ada syarat untuk penjualannya. Apabila iitu terjadi, maka boleh berpisah sebelum melakukan serah terima.

Berikut beberapa contoh kasus dan hukumnya :
1.    Menjual 100 gram emas dengan 100 gram emas yang ditunda setelah sebulan. Hal ini hukumnya haram karena termasuk riba, karena tidak langsung serah terima di majlis akad.
2.    Membeli 1 kg jewawwut dengan 1 kg gandum adalah boleh karena berbeda jenis, namun disyaratkan langsung serah terima di majlis akad.
3.    Menjual 50 kg gandum dengan seekor kambing adalah boleh secara mutlak, baik adanya serah terima di majlis akad maupun tidak.
4.    Tukar menukar uang dolar, misalnya 100 dolar ditukar dengan 120 dolar. Hal ini tidak boleh.
5.    Meminjamkan 1.000 dolar dengan syarat dikembalikan setelah sebulan atau lebih 1.200 dolar. Hal ini juga tidak  boleh.
6.    Menukar 100 dirham perak dengan 10 junaih emas yang akan dibayarkan setelah berlalu sebeulan . Hal ini tidak boleh, karena harus langsung serah terima pada saat akad.
7.    Jual beli saham bank ribawi juga tidak boleh, karena termasuk menjual uang dengan uang tanpa ada kesamaan dan serah terima.




Senin, 07 Oktober 2019

Fadhalah bin ‘Ubaid




Basren Blog. Fadhalah bin ‘Ubaid r.a adalah salah seorang sahabat Nabi SAW , berasal dari suku Aus dan merupakan kaum Anshar.
Ia seorang sahabat Nabi SAW, dan termasuk orang yang ikut serta menyatakan janji setia dalam Baitur Ridwan yang berlangsung pada tahun ke 6 H demi membela Utsman r.a utusan Rasulullah SAW kepada kaum Quraisy untuk bernegoisasi, yang dikabarkan telah dikhianati kaum Quraisy dengan membunuhnya. Allah SWT berfirman tentang keutamaan baiat ini dan orang-orang yang yang berikrar di dalamnya :
۞لَّقَدۡ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ يُبَايِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيۡهِمۡ وَأَثَٰبَهُمۡ فَتۡحٗا قَرِيبٗا ١٨
“ Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). “ (QS. Al-Fath ayat 18).
Peperangan pertama yang diikuti Fadhalah bin ‘Ubaid r.a bersama NabI  SAW adalah perang Uhud, dan dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya, ia tidak pernah absen berjuang bersama Rasulullah SAW.
Dalam perjalanan hidupnya, Fadhalah bin ‘Ubaid r.a pindah bermukim di negeri Syam. Ia pun ikut serta  dalam perang penaklukan negeri Mesir. Dengan keilmuan dan ketaqwaannya, maka tidak mengherankan, pada masa Mu’awiyah r.a memerintah negeri Syam, Fadhalah bin ‘Ubaid r.a diserahi tanggung jawab memegang kendali Qadha (peradilan) di Damaskus sepeninggal Abu Darda r.a. Tidak hanya itu saja, bahkan di kala Mu’awiyah r.a tidak berada di tempat, maka Fadhalah bin ‘Ubaid r.a menjadi sosok yang menggantikan posisisnya. Selain itu dalam misi jihad melawan kekuatan Romawi melalui laut, Mu’awiyah menjadikan Fadhalah r.a sebagai salah satu pimpinan pasukannya.
Imam Abu Dawud rah. meriwayatkan dalam kitab Sunannya dari  Abdullah bin Buraidah bahwa ada seorang lelaki dari sahabat Nabi SAW yang menempuh perjalanan untuk menemui Fadhalah bin ‘Ubaid r.a ketika berada di Mesir. Ia pun sampai kepadanya, sembari berkata, “ Aku ini datang kepadamu, bukan untuk sekedar berkunjung, akan tetapi (aku datang karena) aku dan engkau pernah mendengar satu hadits dari Rasulullah  yang aku berharap engkau memiliki pengetahuan tentang itu. “ Fadhalah berkata, “ Hadits yang mana ? “ Ia menjawab,      “ Tentang perkara demikian dan demikian. “ Lelaki itu kemudian menanyakan,           “ Kenapa aku lihat rambutmu tak rapi, sedang engkau adalah penguasa ? “ Fadhalah r.a menjawab, “ Sesungguhnya Rasulullah SAW dahulu melarang kami sering menyisir rambut. “ Lelaki itu bertanya kembali, “ Kenapa aku lihat engkau tidak mengenakan alas kaki ? “ Fadhalah r.a menjawab, “ Nabi SAW pernah memerinyahkan kami agar kadang-kadang berjalan tanpa alas kaki.” (HR. Abu Dawud Nomor 3629 dan dishahihkan al-Albani rah.)
Itulah keteguhan sang Fadhalah bin ‘Ubaid r.a dalam memegang petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah, walaupun dia sendiri tidak mengetahui apa manfaat bagi dirinya.
Nasehat, pesan maupun wasiat sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk dapat menjaga dirinya dakam keimanan, ilmu dan beramal shaleh. Apalagi untaian kata-kata mutiara tersebut bersumber dari generasi terbaik umat Islam, para sahabat Nabi SAW.
Mari kita simak beberapa hikmah dari tokoh kita kali ini.
Fadhalah bin ‘Ubaid r.a pernah berkata, “ Aku mengetahui Allah SWT menerima dariku amalan sebesar biji dzarrah itu lebih aku sukai ketimbang dunia dan seisinya. Karena Allah SWT berfirman, “ Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan ) dari orang-orang yang bertaqwa (QS. Al-Maidah ayat 27). “
Ia juga pernah mengingatkan, “ Tiga hal termasuk bencana : (1) seseorang penguasa jika engkau berbuat baik kepadanya, ia tidak berterima kasih dan bila engkau berlaku buruk kepadanya, ia tidak memaafkan,  (2) tetangga, jika ia melihat kebaikan (darimu) ia menyembunyikannya, dan bila ia melihat keburukan (darimu) ia menyebarluaskannya. Dan (3) istri, bila engkau ada, ia menyakitimu, bila engkau pergi, ia berkhianat kepadamu terhadap dirinya dan hartamu. “
Pada tahun 53 atau 57 H, Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshari r.a meninggal dunia, pada saat itu pemerintahan dipimpin oleh Mu’awiyah bin   Abu Sufyan di Damaskus. Mu’awiyah r.a sendiiri ikut memanggul kerandanya .
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengagungkan sunnah-sunnah Rasulullah SAW dan mengamalkannya serta mencintai para Sahabat Nabi SAW.

Sabtu, 05 Oktober 2019

Nabi Sulaiman dan Do’a Semut




Basren Blog. Pada suatu masa pada zaman Nabi Sulaiman as, terjadi kemarau yang cukup panjang di seluruh wilayah kerajaannya.  Akibatnya banyak wilayah yang mengalami kekeringan sehingga rakyatnya mengalami banyak kesusahan-kesusahan. Diantaranya kekurangan air minum, kekeringan di wilayah kebun mereka dan ternak mereka kurus-kurus karena kekurangan air.

Melihat kondisi seperti ini terus berlanjut maka rakyat mendatangi Nabi Sulaiman untuk memohon kepada Allah SWT untuk menurunkan hujan.
Nabi Sulaiman pun memerintahkan penduduknya yang terdiri dari manusia dan jin untuk berkumpul di suatu lapangan. Saat berada di lapangan maka dengan tiba-tiba Nabi Sulaiman melihat seekor semut sedang berdo’a dengan khusu’nya kepada Allah, “ Ya Allah Yang Maha Pemurah, hanya kepada-Mu aku memohon. Ya Allah, berikanlah kepada kami air. Ya Allah, kabulkanlah permohonan hamba. “

Setelah mendengar do’a semut itu, maka Nabi Sulaiman memerintahkan kepada rakyatnya untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Nabi Sulaiman berkata, “ Pulanglah kalian ke rumah masing-masing. Sebab Allah akan menurunkan hujan karena do’a seekor semut. “
Maka setelah itu Nabi Sulaiman dan rakyatnya kembali ke wilayahnya.

Khutbah Hari Raya Idul Fitri 1440 H Tiga Ciri Sukses Romadhan Dimomen Lebaran




Tiga Ciri Sukses Romadhan Dimomen Lebaran

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ
أَكْبَرُ
اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
 
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُسُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ



Allahu Akbar,Allahu Akbar, Allahu Akbar  wa lillahilh hamd,

Lebaran atau momen Idul Fitri hampir selalu diwarnai dengan gegap gempita kegembiraan umat Islam di berbagai penjuru. Gema takbir dikumandangkan di malam harinya, kadang disertai sejumlah aksi pawai. Pada pagi harinya pun mayoritas dari mereka mengenakan pakaian serba baru, makan makanan khas dan istimewa, serta bersiap bepergian untuk silaturahim ke sanak kerabat hingga berkunjung ke beberapa wahana liburan yang menarik.

Umat Islam merayakan sebuah momen yang mereka sebut-sebut sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas apa?

Jamaah shalat Idul Fitri Rohimakumullah

Idul Fitri tiba ketika umat Islam menjalankan ibadah wajib puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Sepanjang bulan suci tersebut, mereka menahan lapar, haus, hubungan seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Secara bahasa, shaum (puasa) memang bersinonim dengan imsâk yang artinya menahan. Ramadhan merupakan arena kita berlatih menahan diri dari segala macam godaan material yang bisa membuat kita lupa diri.

Proses latihan tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti makan dan minum. Inilah proses penempaan diri. Targetnya: bila manusia menahan diri dari yang halal-halal saja mampu, apalagi menahan diri dari yang haram-haram. Puasa itu ibarat pekan ujian nasional bagi siswa sekolah. Selama seminggu itu para murid digembleng untuk belajar lebih serius, mengurangi jam bermain, dan menghindari hal-hal lain yang bisa mengganggu hasil ujian tersebut.

Ramadhan tentu lebih dari sekadar latihan. Ia wahana penempaan diri sekaligus saat-saat dilimpahkannya rahmat (rahmah), ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari api neraka (itqun minan nâr). Aktivitas ibadah sunnah diganjar senilai ibadah wajib, sementara ibadah wajib membuahkan pahala berlipat-lipat.

Selayak siswa sekolah yang mendapatkan rapor selepas melewati masa-masa krusial ujian, demikian pula orang-orang yang berpuasa. Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya. Apa hasil itu? Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana terdapat di al-Baqarah ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Takwa merupakan standar paling tinggi tingkat kemuliaan manusia. Seberapa tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya. Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum. Dalam konteks puasa Ramadhan, tentu takwa tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Ada yang lebih substansial yang perlu ditahan, yakni tergantungnya manusia kepada hal-hal selain Allah, termasuk hawa nafsu. Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh akan mencegah dirinya dari segala macam perbuatan tercela semacam mengubar syahwat, berbohong, bergunjing, merendahkan orang lain, riya’, menyakiti pihak lain, dan lain sebagainya. Tanpa itu, puasa kita mungkin sah secara fiqih, tapi belum tentu berharga di mata Allah subhanahu wata’ala

Rasulullah sendiri pernah bersabda:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

Artinya: “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad)

Jamaah shalat Idul Fitri Yang Berbahagia

Karena puasa sudah kita lewati dan tak ada jaminan kita bakal bertemu Ramadhan lagi, pertanyaan yang lebih relevan bukan saja “kemenangan atas apa yang sedang kita Idul Fitri?” tapi juga “apa tanda-tanda kita telah mencapai kemenangan?”. Jangan-jangan kita seperti yang disabdakan Nabi, termasuk golongan yang sekadar mendapatkan lapar dan dahaga, tanpa pahala?

Jika standar capaian tertinggi puasa adalah takwa, maka tanda-tanda bahwa kita sukses melewati Ramadhan pun tak lepas dari ciri-ciri muttaqîn (orang-orang yang bertakwa). Semakin tinggi kualitas takwa kita, indikasi semakin tinggi pula kesuksean kita berpuasa. Demikian juga sebaliknya, semakin hilang kualitas takwa dalam diri kita, pertanda semakin gagal kita sepanjang Ramadhan.

Lantas, apa saja ciri-ciri orang bertakwa? Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan ciri-ciri orang takwa. Salah satu ayatnya terdapat dalam Surat Ali Imran:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَـــافِينَ عَنِ النَّــاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُـحْسِنِــينَ

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada saat sarrâ’ (senang) dan pada saat dlarrâ’ (susah), dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 134)

Jamaah shalat Idul Fitri Rahimakumullah
Ayat tersebut memaparkan tiga sifat yang menjadi ciri orang bertakwa. Pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit. Orang bertakwa tidak akan sibuk hanya memikirkan diri sendiri. Ia mesti berjiwa sosial, menaruh empati kepada sesama, serta rela berkorban untuk orang lain dalam setiap keadaan. Bahkan, ia tidak hanya suka memberi kepada orang yang dicintainya, tapi juga kepada orang-orang memang membutuhkan.

Dalam konteks Ramadhan dan Idul Fitri, sifat takwa pertama ini sebenarnya sudah mulai didorong oleh Islam melalui ajaran zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan simbol bahwa “rapor kelulusan” puasa harus ditandai dengan mengorbankan sebagian kekayaan kita dan menaruh kepedulian kepada mereka yang lemah. Ayat tersebut menggunakan fi’il mudhari’ yunfiqûna yang bermakna aktivitas itu berlangsung konstan/terus-menerus. Dari sini, dapat dipahami bahwa zakat fitrah hanyalah awal atau “pancingan” bagi segenap kepedulian sosial tanpa henti pada bulan-bulan berikutnya.

Ciri kedua orang bertakwa adalah mampu menahan amarah. Marah merupakan gejala manusiawi. Tapi orang-orang yang bertakwa tidak akan mengumbar marah begitu saja. Al-kâdhim (orang yang menahan) serumpun kata dengan al-kadhîmah (termos). Kedua-duanya mempunyai fungsi membendung: yang pertama membendung amarah, yang kedua membendung air panas.

Selayak termos, orang bertakwa semestinya mampu menyembunyikan panas di dadanya sehingg orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa ia sedang marah. Bisa jadi ia tetap marah, namun ketakwaan mencegahnya melampiaskan itu karena tahu mudarat yang bakal ditimbulkan. Termos hanya menuangkan air panas pada saat yang jelas maslahatnya dan betul-betul dibutuhkan.

Patutlah pada kesempatan lebaran ini, umat Islam mengontrol emosinya sebaik mungkin. Mencegah amarah menguasai dirinya, dan bersikap kepada orang-orang pernah membuatnya marah secara wajar dan biasa-biasa saja. Ramadhan semestinya telah melatih orang untuk berlapang dada, bijak sana, dan tetap sejuk menghadapi situasi sepanas apa pun.

Ciri ketiga orang bertakwa adalah memaafkan kesalahan orang lain. Sepanjang Ramadhan, umat Islam paling dianjurkan memperbanyak permohonan maaf kepada Allah dengan membaca:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Wahai Tuhan, Engkau Maha Pengampun, menyukai orang yang minta ampunan, ampunilah aku.”

Kata ‘afw (maaf) diulang tiga kali dalam kalimat tersebut, menunjukkan bahwa manusia memohon dengan sangat serius ampunan dari Allah SWT. Memohon ampun merupakan bukti kerendahan diri di hadapan-Nya sebagai hamba yang banyak kesalahan dan tak suci.

Cara ini, bila dipraktikkan dengan penuh pengahayatan, sebenarnya melatih orang selama Ramadhan tentang pentingnya maaf. Bila diri kita sendiri saja tak mungkin suci dari kesalahan, alasan apa yang kita tidak mau memaafkan kesalahan orang lain? Maaf merupakan sesuatu yang singkat  namun bisa terasa sangat berat karena persoalan ego, gengsi, dan unsur-unsur nafsu lainnya.

Amatlah arif ulama-ulama di Tanah Air yang menciptakan tradisi bersilaturahim dan saling memaafkan di momen lebaran. Sempurnalah, ketika kita usai membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kepada Allah, selanjutnya kita saling memaafkan kesalahan masing-masing di antara manusia.

Sudah berapa kali puasa kita lewati sepanjang kita hidup? Sudahkah ciri-ciri sukses Ramadhan tersebut melekat dalam diri kita? Wallahu a’lam bish shawab.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَذِكْرِ اْلحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.




Kamis, 03 Oktober 2019

Kisah Nabi Muhammad SAW dan Pengemis Buta


Basren Blog. Pada suatu masa, disaat Nabi Muhammad SAW belum meninggal dunia, ada seorang pengemis buta yang selalu berada di dekat pasar di Madinah. Siapa saja yang ia temui, ia selalu menceritakan hal-hal buruk tentang Nabi Muhammad. Perkataan yang selalu di dendangkannya adalah Muhammd adalah seorang pendusta dan orang gila, dan masih banyak cerita-cerita kejelakan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada khalayak ramai. Walaupun demikian perkataannya, Nabi SAW selalu mendatanginya setiap pagi. Dibawakannya makanan kemudian disuapinya pengemis buta itu, dan Nabi SAW melakukan itu tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Tiap hari itulah yang dilakukan oleh pengemis buta,selalu mengingatkan orang-orang agar tidak mendekati Nabi SAW dan perilaku Nabi SAW juga seperti itu , selalu membawa makanan dan menyuapi orang tua tersebut hingga  Nabi  wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, pengemis buta terus-menerus mengatakan kejelekan Nabi Muhammad SAW.

Pada suatu hari, Abu Bakar  mendatangai rumah Aisyah, putrinya. Maka bertanyalah Abu Bakar pada putrinya tersebut, Wahai anakku, adakah sunah Rasulullah yang belum aku kerjakan ? “ Aisyah berkata, “ Wahai ayahku, ada satu sunah yang belum engkau laksanakan. “ Berceritalah Aisyah kepada ayahnya, bahwa Nabi SAW setiap paginya selalu mendatangi pengemis Yahudi yang buta serta membawakan makanan dan menyuapinya.
Keesok harinya, Abu Bakar datang pagi-pagi ke pasar untuk menemui pengemis buta tersebut. Ia mencoba apa yang dilakukan oleh Nabi SAW. Ketika akan menyuapinya, pengemis buta dengan tiba-tiba berteriak, “ Siapakah engkau ? “ Abu Bakar menjawab, “ Aku adalah orang yang biasanya. “ Pengemis itu berkata, “ Bukan ! Kamu bukanlah orang yang seperti biasanya. Orang yang biasa mendatangiku akan menguyah terlebih dahulu makanan tersebut, kemudian setelah halus maka makanan tersebut disuapkan, maka dengan mudah makanan tersebut kukunyah. “ Mendengar itu Abu Bakar pun menangis. Kemudian Abu Bakar buta menjelaskan bahwa dirinya bukanlah orang biasa menemuinya, “ Orang yang biasa menyuapimu adalah baginda Rasulallah SAW , beliau saat ini telah meninggal dunia. “

Mendengar apa yang dijelaskan oleh Abu Bakar maka menangislah pengemis buta itu. Ternyata apa yang dilakukannya setiap hari adalah fitnah , Nabi SAW tidak pernah menegurnya apa lagi memarahinya. Sungguh mulia perilaku Nabi Muhammad SAW, dengan kejadian tersebut, maka pengemis buta tersebut mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Abu Bakar.